Keanekaragaman bahasa tidak dapat dipisahkan
dari keanekaragaman budaya. Ditinjau dari segi budaya, bahasa termasuk aspek
budaya. Bahasa Madura adalah satu dari sekian banyaknya keanekaragaman bahasa
yang ada di Indonesia. Bahasa Madura adalah bahasa yang digunakan
oleh suku Madura dan merupakan anak cabang dari bahasa Austronesia ranting
Malayo-Polinesia, sehingga mempunyai kemiripan dengan bahasa-bahasa daerah
lainnya seperti bahasa Jawa. Bahasa Madura banyak terpengaruh oleh bahasa Jawa tapi
sudah tentu pelafalannya sangat berbeda seperti engghi dan ȇnggeh, keduanya
memiliki kemiripan namun pelafalannya berbeda.
Silzer (1990) menyatakan bahwa bahasa dan
kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai sekeping mata uang
yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa
sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa,
atau juga sebaliknya. Artinya adanya hubungan antara bahasa dan budaya, hal ini
dapat juga kita lihat dari peribahasa atau pepatah Madura seperti “lȇbbi bhȃgus
pote tolang tembhȇng pote matah (lebih baik putih tulang dari pada putih
mata)” menunjukan bahwa orang Madura lebih baik mati berkalang tanah dari pada
harus menanggung malu, karena harga diri lebih diutamakan oleh masyarakat Madura.
Ada juga pepatah yang mengatakan “tadȇ’ aeng aghili ka oloh (tidak ada
air yang mengalir ke hulu)” menunjukan bahwa orang tua itu tidak mengenal yang
namanya menumpang hidup pada anaknya selagi ia mampu membiayai kehidupan
keluarganya.
Untuk lebih memahami adanya hubungan
budaya dan tindak tutur, serta melihat budaya-budaya yang tidak sama,
sehingga melahirkan pola tindak tutur yang berbeda, contohnya sebagai berikut.
Dalam masyarakat tutur Madura daerah Bangkalan, kalau ada orang yang mengajak
untuk mampir, misalnya dengan mengatakan “toreh alengghi ghȇllun! (mari mampir!)”, atau “lok ambuȇh yȇh? (tidak mau mampir
dulu?)”, maka yang ditawari akan menjawab tawaran tersebut dengan
mengatakan “empon, sakalangkong (tidak
usah terima kasih)” atau “iyot, abit lok entaran kanjeh! (kebetulan,
lama tidak kesini!)”. Orang yang menawari tadi akan merasa senang dan betul-betul melayani tamu yang ingin mampir kerumahnya hanya untuk sekadar
berbincang atau melakukan sesuatu lainnya. Akan tetapi kalau itu terjadi dalam
budaya atau masyarakat tutur Jawa, tentu akan berbeda. Arti dari tawaran tersebut adalah orang yang menawari tadi tidak betul-betul menawarkan
atau tidak menginginkan kehadiran orang yang ditawarkan, melainkan hanya sebagai basa-basi saja.
Masinambouw mengatakan sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana
berlangsungnya interaksi manusia didalam masyarakat, sehingga di dalam tindak
laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu.
Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya disebut sebagai etika
berbahasa atau tata cara berbahasa. Etika berbahasa erat kaitannya dengan
pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam
satu masyarakat. Seseorang baru dapat dikatakan pandai berbahasa apabila dia
menguasai tata cara atau etika berbahasa itu.
Bahasa Madura adalah salah satu
bahasa di Indonesia yang memiliki tingkatan-tingkatan dilihat dari aspek
sosialnya. Aspek sosial budaya yang harus dipertimbangkan adalah siapa lawan
bicara kita. Lebih tua, sederajat, lebih muda, atau kanak-kanak; status sosial
lebih tinggi, sama, atau lebih rendah; situasinya formal atau tidak formal,
akrab atau tidak akrab; sudah dikenal atau belum dikenal, dan sebagainya. Misalnya penggunaan bahasa
Madura seorang murid terhadap guru dan orang tuanya akan lebih
halus dibandingkan dengan bahasa yang digunakan ketika seorang penutur berbicara
dengan teman sebayanya. Misalkan ketika kita berbicara dengan guru atau orang
tua bahasa yang digunakan sepeti ini, “Kaulȇh palemanah ghi (saya ingin pulang)”
berbeda ketika kita berbicara dengan teman sebaya “Engkok muleah ghȇllun (saya mau pulang dulu)”. Ada etika yang berlaku disini, etika berbahasa kepada
guru dan orang tua serta etika berbahasa terhadap teman sebaya. Penggunaan bahasa yang lebih halus digunakan ketika seorang penutur
berbicara dengan seorang kiyai. Bahasa yang digunakan akan lebih halus daripada
ketika kita berbicara dengan seorang guru dan orang tua, misalnya “abdhinah
palemanah samangken (saya ingin pulang sekarang)” dengan sedikit
membungkukan badan dan sedikit menundukan kepala. Karena
menegakkan badan ketika berbicara dengan seorang ulama atau kiyai dinilai tidak
sopan. Sedangkan di
daerah lain seperti kota Jakarta atau di Amerika
Serikat sekalipun. Berinteraksi
atau berbicara dengan menundukan kepala itu dinilai tidak menghargai lawan
bicaranya.
Gerak-gerik fisik dalam etika bertutur juga harus diperhatikan, ada dua hal
yakni kinesik dan proksimik. Kinesik meliputi gerakan mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, gerakan
tangan bahu, kepala, dan sebagainya. Gerakan mata dan kepala sangat penting di
dalam etika berbahasa. Gerakan kepala juga mempunyai arti penting didalam etika
berbahasa. Gerakan ke bawah menyatakan “ya” dan untuk menyatakan “tidak atau
tidak tahu” orang madura
biasanya menggelengkan kepalanya. Berbeda
halnya dengan budaya Jawa, menggelengkan kepala berarti mengatakan “tidak” sedangkan untuk “tidak tahu” masyarakat Jawa biasanya
mengangkat bahunya diikuti bunyi “emboh” atau “ora ngerti”.
Proksimik adalah jarak tubuh di
dalam berkomunikasi atau bercakap-cakap. Dalam pembicaraan yang akrab antara
budaya yang satu dengan budaya yang lain biasanya berbeda. Di Madura, terutama di lingkungan
pondok pesantren ketika mereka dipanggil atau diajak berbicara oleh seorang kiyai, biasanya jarak antara keduanya tidak terlalu
dekat hanya berjarak beberapa kaki saja, setidaknya seorang tersebut masih
mendengar suara sang penutur. Tetapi disalah satu pesantren di Jawa tepatnya di daerah Tuban, ketika
seorang santri diajak berbicara atau dipanggil oleh seorang kiyai, biasanya mereka akan lebih
dekat serta mengarahkan telinga ke arah sumber suara karena menurut mereka itu
lebih sopan. Volume dan nada suara juga harus diperhatikan. Para penutur
dari Madura dalam berbahasa Madura menggunakan volume suara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan para
penutur bahasa Sunda dan Jawa. Sehingga masyarakat Jawa atau Sunda terkadang mengira bahwa
orang Madura sangat garang serta menilai bahwa orang Madura keras-keras tidak seperti
Jawa dan Sunda yang lemah lembut tercermin dari cara berbahasanya. Selain itu,
volume dan nada tinggi yang digunakan dalam berbahasa Madura itu mencerminkan
kepribadian orang Madura yang pekerja keras.
Berdasarkan pemaparan di atas,
penulis ingin menegaskan Kembali fungsi bahasa adalah sebagai sarana. Bahasa mempunyai fungsi
sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia didalam masyarakat, artinya
tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam
budaya itu atau biasa disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa. Etika
berbahasa erat kaitannya dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan
sitem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Dari sini, barulah kita dapat
disebut sebagai multilingual jika kita memahami lebih dari satu bahasa.
Tidak hanya memahami bahasanya saja, melainkan etika berbahasanya pun harus
dipahami. Karena, Indonesia terdiri dari berbagai suku dan antara suku yang
satu dengan yang lainnya memiliki bahasa dan kebudayaan yang berbeda pula.
Begitupun bahasa yang ada diseluruh dunia ini, bermacam-macam bahasa, dan kebudayaan
dengan karakter suku yang berbeda pula. Disinilah pentingnya mempelajari bahasa
dan kebudayaan orang lain serta etika dalam berbahasa,
karena jika kita ingin dihargai orang lain, hargailah orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar