Bahasa dan Kelas Sosial



Kelas sosial atau golongan sosial merujuk kepada perbedaan hierarkis (ataustratifikasi) antara insan atau kelompok manusia dalam masyarakat atau budaya.Biasanya kebanyakan masyarakat memiliki golongan sosial, namun tidak semuamasyarakat memiliki jenis-jenis kategori golongan sosial yang sama. Berdasarkan karakteristik stratifikasi sosial, dapat kita temukan beberapa pembagian kelas atau golongan dalam masyarakat. Beberapa masyarakat tradisional pemburu-pengumpul,tidak memiliki golongan sosial dan seringkali tidak memiliki pemimpin tetap pula.Oleh karena itu masyarakat seperti ini menghindari stratifikasi sosial. Dalammasyarakat seperti ini, semua orang biasanya mengerjakan aktivitas yang sama dantidak ada pembagian pekerjaan.Secara harfiah pengertian kelas sosial (social class) mengacu kepadagolongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidangkemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dansebagainya.Kasta biasanya dianggap sejenis dengan kelas sosial, namun ada perbedaanantara kasta dan kelas sosial, yaitu pada kasta bersifat tertutup, artinya seseorangtidak boleh seenaknya bebas memasuki golongan. Sedangkan kelas sosial bersifatterbuka, artinya dalam kelas sosial memungkinkan adanya mobilitas sosial, yaitu berpindahnya seseorang dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya.

kisi itu memaksa sang penutur menggolong-golongkan dan membentuk konsep tentang berbagai gejala dalam dunia luar itu berdasarkan bahasa ibunya. Dengan demikian maka bahasa ibu dapat mempengaruhi masyarakat dengan jalan mempengaruhi bahkan mengandalikan pandangan penutur-penuturnya terhadap dunia luar. Contohnya dalam kehidupan orang jawa, sejak kecil mengatahui dalam  bahasa jawa  jaran adalah nama untuk kuda dan belo merupakan nama untuk anak kuda. “Penggolongan” atas satu hal atau jenis binatang ini menjadi kisi-kisi dalam  benaknya. Bisa jadi saat dia belajar bahasa indonesia, ia akan menanyakan apa nama untuk anak kuda dalam bahasa indonesia. Contoh lain seperti bahasa-bahasa eropa yang memiliki sistem kala (tense), karena itu menerjemahkan bahasa inggris ke dalam bahasa jerman bukan sesuatu yang sulit dikarenakan bahasa tersebut memiliki kesamaan di dalam berapa hal, namun berbeda jika diterjemahkan dalam bahasa lain, seperti bahasa jepang dan bahasa cina, hal tersebut akan sulit dilakukan dikarenakan karakter bahasa yang berbeda jauh. Contoh lain antar bahasa indonesia dan bahasa inggirs, dalam bahasa indonesia diucapkan “selamat malam” jika malam atau antara jam 19.00 sampai dengan jam 01.00, karena dalam benak meraka gelap berkaitan dengan malam. Sedangkan dalam bahasa inggris untuk waktu tersebut hanya menggunakan good evening untuk waktu petang danGood morning pada saat malam. Konkritnya hipotesis Sapir-Whort menyatakan bahwa cara berfikir masyarakat benar-benar dibatasi bahasa. Hal ini tentu banyak menimbulkan  pertentangan.

Hipotesis Sapir dan Whorf tersebut menuai kontroversi hingga kini. Bahkan, ia semakin cenderung ditolak. Setidaknya ada dua alasan untuk penolakan itu. Per tama, klaim tersebut seolah-olah mengimplikasikan bah wa sebagian  bahasa lebih primitif, lebih inferior dari bahasa yang lain. Padahal, bahasa selalu memiliki ke unikan tatabahasa dan kosa kata. Faktanya, meskipun setiap bahasa unik, kita tidak pernah gagal mener jemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain. Atau, kita juga ternyata bisa belajar bahasa lain selain bahasa ibu kita (mother tongue). Intinya, bahasa ternyata tidak tertutup dan statis, tetapi terbuka dan dinamis. Bahasa  berkembang ber sama budaya. Kedua, argumentasi Sapir dan Whorf tersebut dinilai tidak ilmiah sebab keter  batasan bahasa yang dianalisis sebagai data. Whorf, murid Sapir, dalam risetnya hanya meneliti sejumlah bahasa-bahasa suku Indian di Amerika dan membandingkannya dengan bahasa Inggris khususnya. Di samping itu, besar kemungkinan, kesimpulan yang ia ambil tidak sepenuhnya berda sarkan fakta linguistik, tetapi produk budaya lain seperti kemajuan ilmu dan teknologi. Berbekal kelebihan dan kemajuan, penutur bahasa Inggris kala itu dianggap lebih superior dalam banyak hal daripada penutur ba hasa-bahasa lokal Indian tersebut. Keunikan dan eksotisme yang dimiliki bahasa suku Indian disamakan dengan primitivitas. Ego dan identitas kelompok memang tampaknya hidup sepanjang masa. Sebagai sanggahan terhadap determinisme linguistik, bahasa kemudian lebih diyakini sebagai  bukan penentu budaya, tetapi reflektor budaya yang lebih dikenal dengan istilah relativitas linguistik. Menarik sebenarnya mengulas hipotesis Sapir-Whorf demikian lebih jauh. Benar kah bahasa Indonesia tidak mengenal tense atau konsepsi waktu yang pada gilirannya membentuk sikap meremeh kan waktu, malas, suka terlambat, dan seterusnya? Jawabannya bisa salah, bisa benar. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat konsepsi tense lebih dahulu. Tense pada dasarnya adalah konsep linguistik; sementara, waktu adalah konsep universal. Sebagai konsep linguistik, tense tentulah bersifat partikular. Sementara, konsep waktu (kemarin, kini,  besok, siang, malam, dan sebagainya) adalah konsepsi umum yang ditemukan dalam setiap komu nitas bahasa. Kekhilafannya bermula dari pemahaman bahwa tense diidentikkan dengan waktu. Ekuasi demikian tidak sepenuhnya benar. Yang lebih tepat adalah sebagian, bukan sepenuhnya, konsepsi tense terkait dengan konsepsi waktu. Tense harus dianggap sebagai elemen partikular sebuah bahasa dan ia tidak harus ada dalam bahasa lain. Sebab itu, absensi konsep tense dalam sebuah bahasa tidak berarti bahasa tersebut tidak mengenal waktu, apalagi meremehkan waktu. Selain itu, tense memiliki standar ganda. Ia hanyalah benar dalam definisi secara gramatikal atau morfologis, bukan leksikal. Bahasa Inggris, misalnya, memiliki dua tense, yaitu present dan past (future bukan tense) yang ditandai masing-masing dengan penanda atau mor fem gramatikal – ed dan  – s. Dengan demikian, kalimat The  president walked to his office (yesterday) dan The president walks to his office (every morning), masing-masing disebut sebagai me miliki, berturut-turut, tense dalam bentuk past dan pre sent yang direalisasikan oleh morfem atau penanda gra matikal – ed dan – s yang melekat pada kata kerja (verba) dalam masing-masing kalimat. Tanpa keterangan pun (yesterday dan every morning), penutur bahasa Inggris bisa menge tahui tense (dan konsepsi waktu) kedua kalimat ter sebut. Singkat cerita, penanda gramatikal tersebut pada hakikatnya hanya lebih memudahkan  pengidentifikasian tense, tidak lebih.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar