Kelas sosial atau golongan sosial merujuk kepada perbedaan hierarkis (ataustratifikasi) antara insan atau kelompok manusia dalam masyarakat atau budaya.Biasanya kebanyakan masyarakat memiliki golongan sosial, namun tidak semuamasyarakat memiliki jenis-jenis kategori golongan sosial yang sama. Berdasarkan karakteristik stratifikasi sosial, dapat kita temukan beberapa pembagian kelas atau golongan dalam masyarakat. Beberapa masyarakat tradisional pemburu-pengumpul,tidak memiliki golongan sosial dan seringkali tidak memiliki pemimpin tetap pula.Oleh karena itu masyarakat seperti ini menghindari stratifikasi sosial. Dalammasyarakat seperti ini, semua orang biasanya mengerjakan aktivitas yang sama dantidak ada pembagian pekerjaan.Secara harfiah pengertian kelas sosial (social class) mengacu kepadagolongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidangkemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dansebagainya.Kasta biasanya dianggap sejenis dengan kelas sosial, namun ada perbedaanantara kasta dan kelas sosial, yaitu pada kasta bersifat tertutup, artinya seseorangtidak boleh seenaknya bebas memasuki golongan. Sedangkan kelas sosial bersifatterbuka, artinya dalam kelas sosial memungkinkan adanya mobilitas sosial, yaitu berpindahnya seseorang dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya.
Hipotesis Sapir dan Whorf tersebut
menuai kontroversi hingga kini. Bahkan, ia semakin cenderung ditolak.
Setidaknya ada dua alasan untuk penolakan itu. Per tama, klaim tersebut
seolah-olah mengimplikasikan bah wa sebagian bahasa lebih primitif, lebih
inferior dari bahasa yang lain. Padahal, bahasa selalu memiliki ke unikan
tatabahasa dan kosa kata. Faktanya, meskipun setiap bahasa unik, kita tidak
pernah gagal mener jemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain. Atau, kita juga
ternyata bisa belajar bahasa lain selain bahasa ibu kita (mother tongue).
Intinya, bahasa ternyata tidak tertutup dan statis, tetapi terbuka dan dinamis.
Bahasa berkembang ber sama budaya. Kedua, argumentasi Sapir dan Whorf
tersebut dinilai tidak ilmiah sebab keter batasan bahasa yang dianalisis
sebagai data. Whorf, murid Sapir, dalam risetnya hanya meneliti sejumlah
bahasa-bahasa suku Indian di Amerika dan membandingkannya dengan bahasa Inggris
khususnya. Di samping itu, besar kemungkinan, kesimpulan yang ia ambil tidak
sepenuhnya berda sarkan fakta linguistik, tetapi produk budaya lain seperti
kemajuan ilmu dan teknologi. Berbekal kelebihan dan kemajuan, penutur bahasa
Inggris kala itu dianggap lebih superior dalam banyak hal daripada penutur ba
hasa-bahasa lokal Indian tersebut. Keunikan dan eksotisme yang dimiliki bahasa
suku Indian disamakan dengan primitivitas. Ego dan identitas kelompok memang
tampaknya hidup sepanjang masa. Sebagai sanggahan terhadap determinisme
linguistik, bahasa kemudian lebih diyakini sebagai bukan penentu budaya,
tetapi reflektor budaya yang lebih dikenal dengan istilah relativitas
linguistik. Menarik sebenarnya mengulas hipotesis Sapir-Whorf demikian lebih
jauh. Benar kah bahasa Indonesia tidak mengenal tense atau konsepsi waktu yang
pada gilirannya membentuk sikap meremeh kan waktu, malas, suka terlambat, dan
seterusnya? Jawabannya bisa salah, bisa benar. Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, mari kita lihat konsepsi tense lebih dahulu. Tense pada dasarnya
adalah konsep linguistik; sementara, waktu adalah konsep universal. Sebagai
konsep linguistik, tense tentulah bersifat partikular. Sementara, konsep waktu
(kemarin, kini, besok, siang, malam, dan sebagainya) adalah konsepsi umum
yang ditemukan dalam setiap komu nitas bahasa. Kekhilafannya bermula dari
pemahaman bahwa tense diidentikkan dengan waktu. Ekuasi demikian tidak
sepenuhnya benar. Yang lebih tepat adalah sebagian, bukan sepenuhnya, konsepsi
tense terkait dengan konsepsi waktu. Tense harus dianggap sebagai elemen
partikular sebuah bahasa dan ia tidak harus ada dalam bahasa lain. Sebab itu,
absensi konsep tense dalam sebuah bahasa tidak berarti bahasa tersebut tidak
mengenal waktu, apalagi meremehkan waktu. Selain itu, tense memiliki standar
ganda. Ia hanyalah benar dalam definisi secara gramatikal atau morfologis,
bukan leksikal. Bahasa Inggris, misalnya, memiliki dua tense, yaitu present dan
past (future bukan tense) yang ditandai masing-masing dengan penanda atau mor
fem gramatikal – ed dan – s. Dengan demikian, kalimat The
president walked to his office (yesterday) dan The president walks to his
office (every morning), masing-masing disebut sebagai me miliki, berturut-turut,
tense dalam bentuk past dan pre sent yang direalisasikan oleh morfem atau
penanda gra matikal – ed dan – s yang melekat pada kata kerja
(verba) dalam masing-masing kalimat. Tanpa keterangan pun (yesterday dan every
morning), penutur bahasa Inggris bisa menge tahui tense (dan konsepsi waktu)
kedua kalimat ter sebut. Singkat cerita, penanda gramatikal tersebut pada
hakikatnya hanya lebih memudahkan pengidentifikasian tense, tidak lebih.
0 komentar:
Posting Komentar